
Bendera “One Piece” Pernah Dipakai Gibran Dicap Pemecah Persatuan, Pakar: Penilaian Gegabah!
Ramai Isu Bendera One Piece: Gibran Dituding Pemecah Persatuan?
wartanusantara.net – Isu mengenai bendera “One Piece” yang pernah dibawa Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, kembali mencuat di publik. Kali ini, sejumlah pihak menyebut tindakan tersebut sebagai simbol yang bisa memecah belah persatuan bangsa. Narasi ini menyebar cepat di media sosial dan memancing perdebatan publik. Namun, sejumlah pakar komunikasi dan politik menyebut tuduhan tersebut terlalu gegabah dan tidak memiliki dasar kuat.
Momen Gibran membawa bendera bergambar tengkorak khas bajak laut anime One Piece terjadi beberapa waktu lalu, dalam suasana santai dan non-formal. Namun, rekaman atau foto-foto momen tersebut kembali diangkat ke permukaan dan dikaitkan dengan posisi politik Gibran saat ini yang tengah jadi sorotan nasional. Beberapa pihak menilai simbol tengkorak tersebut bermuatan kontroversial dan bisa diasosiasikan dengan “pemberontakan” atau perpecahan.
Namun, banyak juga yang menilai tudingan tersebut terlalu berlebihan. Simbol bajak laut One Piece bukanlah hal asing di kalangan generasi muda, dan penggunaannya tidak bisa serta-merta dikaitkan dengan politik identitas atau agenda tertentu. Sebaliknya, penggunaan simbol pop culture semacam ini bisa dilihat sebagai pendekatan komunikasi yang lebih dekat dengan publik muda.
Simbol Budaya Pop Tidak Selalu Bermakna Politik
Pakar komunikasi politik dari salah satu universitas ternama menyebut bahwa penggunaan simbol budaya pop seperti bendera One Piece tidak bisa langsung dimaknai sebagai bentuk pernyataan politik. Menurutnya, konteks penggunaan sangat penting, dan dalam hal ini, tidak ada indikasi bahwa Gibran mencoba menyampaikan pesan politik lewat simbol tersebut.
Ia menambahkan bahwa tokoh publik memang kerap jadi sasaran framing media dan opini publik, apalagi dalam iklim politik yang panas. Gibran, sebagai figur muda dan anak Presiden, sering kali disorot lebih ketat daripada pejabat lainnya. Hal-hal kecil seperti gaya berpakaian, gestur, hingga simbol-simbol yang dibawa bisa saja ditarik ke ranah politik oleh pihak tertentu yang punya kepentingan.
Penggunaan simbol seperti bendera bajak laut dari One Piece justru bisa menunjukkan pendekatan komunikatif yang cair, tidak kaku, dan relatable terhadap kaum muda. Alih-alih dianggap sebagai bentuk pembangkangan atau provokasi, tindakan tersebut seharusnya dipahami sebagai bagian dari dinamika komunikasi yang berkembang di era digital.
Perspektif Masyarakat Terbelah, Tapi Netralitas Harus Dijaga
Tentu saja, dalam masyarakat yang majemuk, persepsi akan sebuah simbol bisa sangat bervariasi. Ada yang menganggap simbol tengkorak sebagai hal yang menyeramkan atau berkonotasi negatif, tapi tidak sedikit pula yang menganggapnya sekadar bagian dari ekspresi gaya anak muda. Ini adalah perdebatan klasik antara makna simbol dan konteks sosial.
Beberapa tokoh masyarakat menyayangkan framing yang menyudutkan Gibran hanya karena penggunaan bendera yang tidak ada kaitannya dengan gerakan politik mana pun. Mereka menekankan pentingnya netralitas dan objektivitas dalam menilai tindakan tokoh publik, apalagi jika menyangkut hal-hal yang tidak substansial.
Dalam konteks demokrasi yang sehat, masyarakat seharusnya lebih fokus pada kebijakan dan tindakan nyata daripada simbol-simbol yang mudah dimanipulasi. Gibran sendiri belum memberikan pernyataan resmi soal isu ini, tapi tim komunikasi di lingkarannya menyebut bahwa bendera One Piece hanya bagian dari budaya pop, tanpa maksud politik apa pun.
Simbol Tidak Selalu Bermakna Politis
Perlunya Kedewasaan dalam Menyikapi Simbol
Bendera One Piece yang dibawa Gibran tidak seharusnya dijadikan dasar untuk menilai integritas atau arah politiknya. Perlakuan semacam ini justru mencerminkan minimnya literasi simbolik dan kurangnya kedewasaan publik dalam memisahkan antara hiburan dan agenda politik. Gibran, seperti banyak tokoh muda lainnya, tumbuh dalam era digital di mana budaya pop jadi bagian dari keseharian.
Harapan Publik untuk Politik yang Lebih Substansial
Kasus ini seharusnya jadi pelajaran bahwa politik tidak semestinya digiring ke arah sensasi, tapi fokus pada substansi: kebijakan, pelayanan, dan kinerja. Bagi generasi muda yang melihat Gibran sebagai representasi mereka di panggung politik, kejadian ini justru bisa memperkuat kedekatan emosional karena mereka merasa memiliki figur pemimpin yang tidak terlalu kaku atau formal.