pariwisata bahari

Kebangkitan Pariwisata Bahari di Indonesia Pasca Pandemi: Peluang dan Tantangan

Kebangkitan Pariwisata Bahari di Indonesia Pasca Pandemi: Peluang dan Tantangan

Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Lautannya menyimpan keanekaragaman hayati terbesar di bumi, termasuk terumbu karang, ikan tropis, dan biota laut langka. Selama puluhan tahun, potensi luar biasa ini sering terabaikan karena pariwisata nasional terpusat pada wisata darat seperti gunung, budaya, dan kota. Namun beberapa tahun terakhir, terutama setelah pandemi COVID-19, pariwisata bahari Indonesia mulai bangkit dan menempati panggung utama sebagai andalan baru industri pariwisata nasional.

Pariwisata bahari mencakup berbagai aktivitas wisata berbasis laut: menyelam (diving), snorkeling, berlayar, memancing, wisata pulau, surfing, hingga wisata pesisir budaya. Indonesia memiliki ribuan destinasi potensial seperti Raja Ampat, Wakatobi, Bunaken, Derawan, Labuan Bajo, Karimunjawa, hingga Kepulauan Seribu. Dulu destinasi ini hanya dikenal wisatawan mancanegara, tapi kini mulai populer juga di kalangan wisatawan domestik, terutama generasi muda. Pandemi menjadi titik balik karena membuat wisatawan mencari destinasi alam terbuka, sepi, dan sehat, sehingga pantai dan laut jadi pilihan utama.

Kebangkitan pariwisata bahari membawa dampak besar: membangkitkan ekonomi pesisir, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan devisa negara. Namun juga muncul tantangan: kerusakan lingkungan, kurangnya infrastruktur, dan rendahnya kualitas SDM. Agar potensi besar ini tidak hilang, Indonesia perlu mengelola kebangkitan pariwisata bahari secara berkelanjutan dan terencana. Inilah yang menjadikan isu ini penting untuk dibahas secara mendalam.


Perubahan Tren Wisata Pasca Pandemi

Pandemi COVID-19 mengubah perilaku wisatawan secara drastis. Selama dua tahun, wisatawan terkurung di rumah dan merindukan alam. Setelah pembatasan dicabut, mereka tidak lagi mencari keramaian kota, tapi mencari ketenangan, udara segar, dan ruang terbuka luas. Wisata berbasis alam, terutama bahari, melonjak drastis. Data Kemenparekraf menunjukkan lonjakan kunjungan ke destinasi pantai dan pulau sejak 2022, terutama dari wisatawan domestik.

Generasi muda menjadi motor utama lonjakan ini. Mereka mencari pengalaman otentik, petualangan, dan konten estetik untuk media sosial. Pulau terpencil, pantai tersembunyi, dan spot diving eksotis menjadi incaran karena dianggap “instagramable” dan unik. Platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube penuh video wisata bahari yang viral, menarik lebih banyak pengunjung. Ini menciptakan efek bola salju: semakin banyak konten viral, semakin banyak wisatawan datang.

Wisatawan asing juga mulai kembali ke Indonesia setelah pembatasan perjalanan dilonggarkan. Raja Ampat, Labuan Bajo, dan Wakatobi kembali dipenuhi penyelam mancanegara. Banyak kapal pesiar kecil (liveaboard) beroperasi lagi, hotel pesisir kembali buka, dan maskapai menambah rute ke destinasi bahari. Semua ini membuat sektor pariwisata bahari menjadi penyelamat utama kebangkitan industri pariwisata nasional pasca pandemi.


Dampak Ekonomi bagi Komunitas Pesisir

Kebangkitan pariwisata bahari membawa dampak ekonomi besar bagi masyarakat pesisir yang selama ini tertinggal. Dulu banyak desa pesisir hanya mengandalkan perikanan tradisional dengan penghasilan rendah dan musiman. Kini mereka bisa membuka homestay, warung makan, penyewaan alat snorkeling, jasa pemandu selam, hingga toko suvenir. Uang dari wisatawan langsung masuk ke kantong warga, meningkatkan pendapatan mereka secara signifikan.

Anak muda pesisir yang dulu merantau ke kota mulai pulang untuk bekerja di sektor pariwisata: menjadi pemandu, fotografer bawah laut, penyelam profesional, atau pengelola media sosial destinasi. Ini membalik arus urbanisasi dan menciptakan regenerasi tenaga kerja lokal. Perempuan pesisir juga mendapat peluang baru, misalnya menjadi pengelola homestay, penenun kain suvenir, atau penjual makanan khas. Pariwisata bahari menciptakan pemberdayaan ekonomi inklusif yang merata lintas gender dan generasi.

BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) berperan penting mengelola pariwisata bahari. Mereka mengatur tiket masuk, retribusi konservasi, dan bagi hasil usaha. Keuntungan digunakan membangun infrastruktur desa seperti air bersih, listrik, sekolah, dan klinik. Dengan demikian, pariwisata bahari tidak hanya memperkaya individu, tapi juga memperkuat kelembagaan desa. Ini menciptakan siklus ekonomi lokal yang berkelanjutan dan mandiri.


Potensi Besar Destinasi Bahari Indonesia

Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari luar biasa karena letaknya di jantung Segitiga Terumbu Karang Dunia (Coral Triangle) yang memiliki 76% spesies karang dunia dan ribuan spesies ikan tropis. Raja Ampat di Papua Barat disebut destinasi diving terbaik dunia karena keanekaragaman hayatinya yang menakjubkan. Wakatobi di Sulawesi Tenggara dikenal sebagai surga snorkeling karena airnya jernih dan terumbu karangnya utuh. Bunaken di Sulawesi Utara menjadi pionir taman laut Indonesia yang terkenal hingga Eropa.

Labuan Bajo di Nusa Tenggara Timur berkembang menjadi destinasi bahari premium dengan kapal pesiar mewah, resor bintang lima, dan akses bandara internasional. Karimunjawa di Jawa Tengah menawarkan pantai pasir putih, hutan bakau, dan wisata kampung nelayan. Pulau-pulau kecil di Maluku, Nusa Tenggara, dan Sulawesi menyimpan potensi besar yang masih perawan. Dengan promosi dan infrastruktur tepat, destinasi ini bisa menyaingi Maladewa, Thailand, atau Filipina sebagai tujuan wisata laut dunia.

Selain wisata rekreasi, pariwisata bahari juga bisa dikembangkan untuk wisata ilmiah (scientific tourism) seperti ekspedisi biota laut, wisata konservasi penyu, atau edukasi ekosistem mangrove. Ini memberi nilai tambah unik yang tidak dimiliki banyak negara lain. Potensi ini bisa menjadikan Indonesia pusat pariwisata bahari dunia jika dikelola secara profesional.


Tantangan Lingkungan yang Serius

Meski peluangnya besar, kebangkitan pariwisata bahari juga membawa ancaman lingkungan serius. Lonjakan pengunjung bisa merusak ekosistem rapuh seperti terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Aktivitas snorkeling dan diving tanpa pengawasan sering menyebabkan karang patah karena diinjak. Kapal wisata membuang jangkar sembarangan merusak dasar laut. Sampah plastik dari wisatawan mencemari laut dan membunuh biota laut.

Banyak destinasi belum punya sistem pengelolaan limbah memadai. Homestay membuang limbah langsung ke laut, kapal wisata membuang oli dan limbah toilet, dan warung pesisir memakai plastik sekali pakai. Tanpa pengelolaan, lingkungan bisa rusak permanen dan justru menghancurkan daya tarik wisata itu sendiri. Overturisme juga bisa mengganggu kehidupan sosial budaya masyarakat lokal, memicu konflik lahan, dan menaikkan harga tanah serta barang pokok.

Perubahan iklim memperparah masalah. Kenaikan suhu laut memutihkan terumbu karang, badai merusak infrastruktur pesisir, dan kenaikan permukaan laut mengancam pemukiman pesisir. Jika tidak diantisipasi, pariwisata bahari akan jadi korban pertama krisis iklim. Karena itu, keberlanjutan harus menjadi pilar utama kebangkitan pariwisata bahari Indonesia.


Kebutuhan Infrastruktur dan SDM

Tantangan besar lain adalah infrastruktur dan SDM. Banyak destinasi bahari sulit diakses karena transportasi terbatas, pelabuhan kecil, dan minimnya penerbangan. Internet lemah membuat promosi dan reservasi sulit. Air bersih dan listrik juga masih terbatas di banyak pulau. Tanpa infrastruktur dasar, sulit menarik wisatawan mancanegara yang menuntut kenyamanan.

SDM lokal juga masih minim keterampilan hospitality, bahasa asing, dan manajemen wisata. Banyak pemandu tidak bersertifikat, penyelam tidak memahami standar keamanan, dan pengelola homestay belum paham pemasaran digital. Ini membuat kualitas layanan tidak konsisten dan membatasi pertumbuhan destinasi. Diperlukan pelatihan besar-besaran agar masyarakat lokal bisa naik kelas menjadi pelaku wisata profesional.

Modal usaha juga menjadi kendala. Banyak pengusaha lokal kesulitan mendapat pinjaman untuk membangun homestay, membeli kapal, atau membuat fasilitas wisata. Bank enggan memberi kredit karena risiko tinggi. Pemerintah perlu memberi skema pembiayaan khusus dan pendampingan usaha agar destinasi bahari tidak dikuasai investor besar dari luar daerah yang merugikan masyarakat lokal.


Strategi Pemerintah Mendorong Pariwisata Bahari

Pemerintah Indonesia mulai menempatkan pariwisata bahari sebagai prioritas nasional. Kemenparekraf meluncurkan program 10 Bali Baru, termasuk destinasi bahari seperti Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membuat program ekowisata bahari berbasis konservasi seperti taman laut, kawasan perlindungan penyu, dan edukasi mangrove. Pemerintah daerah membangun dermaga, bandara, dan infrastruktur pesisir untuk membuka akses.

Pemerintah juga mendorong investasi swasta di destinasi bahari, namun dengan prinsip berkelanjutan. Investor wajib memakai teknologi ramah lingkungan, membatasi jumlah tamu, dan memberdayakan masyarakat lokal. Pemerintah mulai menerapkan retribusi konservasi di destinasi sensitif seperti Raja Ampat dan Komodo untuk membatasi pengunjung dan membiayai konservasi. Semua ini menunjukkan keseriusan pemerintah mengembangkan pariwisata bahari secara berkelanjutan, bukan hanya mengejar jumlah wisatawan.

Selain itu, promosi digital gencar dilakukan lewat Wonderful Indonesia, pameran pariwisata internasional, dan kerja sama dengan influencer global. Tujuannya menjadikan Indonesia sebagai brand wisata bahari kelas dunia. Dengan strategi ini, pemerintah berharap pariwisata bahari bisa menyumbang devisa besar sekaligus pemerataan ekonomi ke daerah tertinggal.


Masa Depan Pariwisata Bahari Indonesia

Melihat tren saat ini, masa depan pariwisata bahari Indonesia sangat cerah. Permintaan global untuk wisata alam, laut, dan petualangan terus naik. Indonesia punya keunggulan alam, budaya, dan biaya rendah yang sulit disaingi negara lain. Jika dikelola baik, sektor ini bisa menjadi tulang punggung ekonomi baru yang berkelanjutan, menciptakan jutaan lapangan kerja, dan mengangkat jutaan warga pesisir dari kemiskinan.

Ke depan, pariwisata bahari Indonesia akan bergerak ke arah high value, low volume — sedikit pengunjung tapi berkelas tinggi — untuk menjaga lingkungan. Ekowisata, wisata ilmiah, dan wisata budaya akan mendominasi, bukan wisata massal. Teknologi digital akan dipakai untuk mengatur kuota pengunjung, reservasi online, dan pembayaran nontunai agar pengelolaan lebih efisien. Pendidikan vokasi pariwisata kelautan akan tumbuh untuk mencetak SDM profesional dari pesisir.

Tren wisata berbasis keberlanjutan global juga akan mempercepat pertumbuhan. Banyak wisatawan asing kini hanya mau datang ke destinasi yang ramah lingkungan, tidak merusak budaya, dan memberdayakan masyarakat lokal. Jika Indonesia bisa memenuhi standar ini, kita bisa menjadi pemimpin pariwisata bahari dunia, bukan hanya pemasok wisata murah. Ini akan mengangkat citra bangsa sekaligus menjaga laut kita tetap lestari untuk generasi mendatang.


Kesimpulan dan Penutup

Kesimpulan:
Pariwisata bahari Indonesia bangkit pesat pasca pandemi dan menjadi harapan baru industri pariwisata nasional. Destinasi laut kita menarik jutaan wisatawan, menggerakkan ekonomi pesisir, dan memperkuat devisa negara. Namun tantangan besar seperti kerusakan lingkungan, infrastruktur minim, dan SDM lemah harus segera diatasi agar pertumbuhan tidak merusak.

Refleksi untuk Masa Depan:
Jika dikembangkan dengan prinsip keberlanjutan, pariwisata bahari bisa menjadi tulang punggung ekonomi baru Indonesia yang ramah lingkungan dan adil sosial. Ini bukan hanya soal wisata, tapi strategi menyelamatkan laut, memberdayakan masyarakat pesisir, dan memperkuat identitas Indonesia sebagai negara bahari dunia.


📚 Referensi

akademi sepak bola Previous post Perkembangan Akademi Sepak Bola Indonesia dalam Mencetak Talenta Muda 2025: Regenerasi, Infrastruktur, dan Harapan Emas
UMKM Next post Transformasi Digital di UMKM Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Dampaknya bagi Ekonomi Nasional